Antara Harapan dan Kenyataan

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 dinyatakan: “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”. Bangsa Indonesia sudah dinyatakan merdeka sejak 17 Agustus 1945 dan diakui oleh dunia, namun kemerdekaan tersebut adalah kemerdekaan secara fisik, yaitu Belanda yang sudah menjajah Indonesia selama kurang lebih 350 tahun, kemudian diganti dengan penjajahan Jepang selama 3 tahun hingga Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan para penjajah tersebut sudah pergi meninggalkan wilayah negara Republik Indonesia. Selanjutnya bangsa Indonesia dengan dinamikanya menjalankan hidup berbangsa dan bernegara untuk mengisi kemerdekaannya yang dipimpin oleh Presiden Soekarno yang disebut “Orde Lama”, kemudian diganti oleh Presiden Suharto yang disebut “Orde Baru” sampai pada terjadinya peristiwa kerusuhan Mei 1998 dan demo mahasiswa besar-besaran di Jakarta yang disebut Gerakan Reformasi menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya, sampai pada akhirnya Presiden Soeharto menyatakan “berhenti” sebagai Presiden Republik Indonesia digantikan oleh BJ Habibi selaku Wakil Presiden Republik Indonesia kala itu, sebagai tanda pergantian dari Orde Baru” menjadi Orde Reformasi. Presiden BJ Habibi hanya menjalankan masa tugasnya sebagai presiden selama kurang lebih satu tahun, kemudian terjadilah pergantian presiden sejak Presiden Abdurahman Wachid, Presiden Megawati Soekarno Putri, Presiden Soesilo Bambang Yudoyono, sampai saat ini Presiden Joko Widodo sudah hampir selesai masa jabatannya di tahun 2019 ini.

Penjajahan tidak sesuai dengan peri kemanuasiaan dan peri keadilan. Saat ini setelah sekian lama merdeka masih ditemukan rakyat yang kelaparan seperti diberitakan di beberapa media masa. Contohnya “Mereka bertahan hidup makan daun: Kasus kelaparan di Maluku Tengah” (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44939889); “FAO: 20 Juta Rakyat Indonesia Masih Kelaparan” (https://republika.co.id/berita/koran/financial/15/10/15/nw9d866-fao-20-juta-rakyat-indonesia-masih-kelaparan).

Pada pembukaan UUD 1945 juga dinyatakan: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Para pejuang kemerdekaan, yang tidak hanya terbatas pada mereka yang disebut sebagai Pahlawan Nasional, tetapi juga mereka yang disebut “Pahlawan Tak Dikenal” yang tak terhitung jumlahnya telah berjuang mengantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan Indonesia. Harapan mereka, negara Indonesia adalah menjadi negara merdeka yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sejak tahun 1945 hingga tahun 2019, selama 74 tahun Indonesia merdeka secara fisik, namun cita-cita menjadi negara merdeka secara utuh, yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur belum tercapai. Bahkan UUD 1945 telah diamandemen beberapa kali sehingga saat ini Presiden dipilih langsung oleh rakyat berdasarkan demokrasi, tidak lagi dipilih oleh wakil rakyat di Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Indikasi belum tercapainya harapan para pejuang kemerdekaan tersebut adalah:

  1. Indonesia memang sudah merdeka secara fisik, tidak ada lagi penjajah yang berkuasa di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi secara ekonomi, politik, hukum, social dan budaya masih menjadi bangsa yang terjajah.
  2. Persatuan Bangsa Indonesia akhir-akhir ini terancam bercerai berai apabila rakyat Indonesia tidak dapat menahan diri dan waspada adanya pihak-pihak yang memang berusaha memecah belah bangsa Indonesia agar mudah dijajah (dikuasai)  dalam berbagai aspeknya untuk mendapat keuntungan sepihak bagi penjajah (non fisik).
  3. Kedaulatan tidak berada sepenuhnya ditangan rakyat, tetapi dipihak yang berkuasa, sementara masih banyak rakyat tidak merasakan keadilan dan kemakmuran sama-sekali. Hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, ini bukti ketidak-adilan. Secara ekonomi rakyat makin terpuruk dan tak berdaya, dengan banjirnya produk-produk impor yang lebih menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Kemerdekaan bangsa Indonesia, menurut para pejuang kemerdekaan dan para pendiri NKRI adalah “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas”. Para pendiri NKRI mengakui bahwa Allahlah Yang Maha Kuasa yang memberika rakhmat Nya berupa kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan. Hal itu harus disyukuri dengan mengisi kemerdekaan untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia yang terdapat dalam pembukaan UUD tahun 1945. Dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas rakyat berjuang mewujudkan cita-cita mencapai kemerdekaan. Namun saat ini bangsa Indonesia tidak bebas lagi karena tingginya utang. “Kementerian Keuangan mencatat posisi utang Indonesia pada Oktober 2018 sebesar Rp 4.478,57 triliun. Angka ini naik apabila dibandingkan dengan posisi utang pada Oktober 2017 sebesar Rp 3.893,6 triliun” (https://www.merdeka.com/uang/kemenkeu-kita-setop-utang-baru-di-desember-2018.html). Anggaran kesehatan Rp 111 triliun,  dibandingkan dengan utang yang jatuh tempo pada tahun 2019 mencapai Rp 409 triliun, 4 kali lipat anggaran kesehatan (https://www.merdeka.com/uang/dituding-menyesatkan-ini-jawaban-zulkifli-hasan-soal-utang-pemerintah.html).

Perjuangan bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaannya masih panjang. Berbagai masalah yang sangat rumit dan berat harus dicari solusinya. Salah satu masalah tersebut adalah tentang system pelayanan kesehatan. Sejak tahun 2005 seluruh anggota World Health Organization (WHO) telah sepakat untuk melaksanakan Universal Health Coverage (Cakupan Kesehatan Semesta)/UHC di negaranya masing-masing. Pemerintah mempunyai target pada tahun 2019 Indonesia mencapai UHC, artinya seluruh penduduk Indonesia harus menjadi anggota Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pembayaran pelayanan kesehatan dari peserta JKN melalui Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Bagi masayarakat miskin yang tidak mampu membayar iuran bulanan dibayarkan oleh pemerintah, mereka menjadi Peserta Bantuan Iuran (PBI).

Saat ini BPJS mengalami deficit anggaran mencapai 10 trilyun lebih sehingga pembayaran kepada rumah sakit atas peyanan kesehatan yang telah dilakukan rumah sakit banyak yang tertunda. “Akibat tunggakan pembayaran BPJS Kesehatan mencapai Rp28,3 miliar, tiga rumah sakit di Kendal, Jawa Tengah (Jateng) terancam bangkrut. Piutang BPJS tersebut untuk pembayaran klaim sejak April 2018” (https://www.inews.id/daerah/jateng/258553/bpjs-nunggak-rp28-3-miliar-3-rumah-sakit-di-kendal-terancam-bangkrut).

Masyarakat yang tadinya tidak berobat ke rumah sakit karena tidak mempunyai biaya untuk membayar pelayanan kesehatan yang mahal di rumah sakit, dengan adanya system JKN untuk mencapai UHC ini menjadi punya kesempatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dengan system rujukan berjenjang. Setiap pasien harus mendapatkan pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yaitu Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Klinik Pratama dan Praktek Dokter yang bekerjasama dengan BPJS, apa bila FKTP tidak mampu mengatasi masalah yang dihadapi pasien karena memerlukan pelayanan kesehatan lebih lanjut ke dokter spesialis, maka pasien tersebut di rumjuk ke rumah sakit. Rumah sakit sebagai tempat/fasilitas pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKTR) berjenjang berdasarkan klasifikasi rumah sakit, yaitu dari rumah sakit tipe D, tipe C, tipe B, dan tipe A, tergantung tingkat keparahan dan jenis penyakit sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Tingkat kesejahteraan masyarakat dalam bidang kesehatan masih harus terus diperjuangkan. Rumah sakit mempunyai peluang atau tantangan yang berat dari pihak eksternal rumah sakit untuk ikut serta dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat di bidang kesehatan. Untuk itu rumah sakit perlu terus menggalang kekuatan internal agar dapat meraih peluang dan menghadapi tantangan tersebut. Dengan peraturan pada pelayanan kesehatan yang sering berubah, maka rumah sakit perlu melakukan antisipasi dengan manajemen rumah sakit yang baik, melakukan inovasi-inovasi dengan kreatifitas sumber daya manusia yang dimilikinya untuk mengatasi dan mengantisipasi berbagai masalah yang dihadapi rumah sakit.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *